Bagaimana
kabarmu disana? Aku bahkan tidak berani bertanya tentang itu. Beberapa tahun
yang lalu kamu memberikan aku sakit yang luar biasa. Sakit yang mungkin tidak
pernah aku bayangkan sebelumnya. Sekarang aku baru berfikir ternyata benar yang
dikatakan orang-orang “waktu akan menyembuhkan segala luka” namun tidak pernah
ada yang menduga bahwa seiring sembuhnya luka tapi tidak dengan perasaan cinta.
Masih
jelas diingatanku, malam minggu kelabu dan jembatan saksi bisu. Betapa patahnya
hatiku saat kamu memutuskan untuk mengakhiri kisah kita. Sebenarnya aku telah
menduga hal ini akan terjadi. Perubahan sikapmu membuatku berfikir begitu
hingga aku terus berusaha menyiapkan diri untuk menerima apapun yang nantinya
akan terjadi. Namun saat kata-kata itu keluar dari bibirmu tetap saja tangisku
pecah seketika. Dengan tangis tersedu-sedu dan berlembar-lembar tisu aku tetap
mendengar janji manismu. Namun ada terbersit rasa kecewa, kamu hanya menganggap
aku sebuah kekhilafan seakan kau hanya mempermainkan aku. Disatu sisi aku mencoba mengerti dengan semua
alasanmu, kita hanya korban keadaan. Beberapa lembar tisu bekas air mataku aku
titipkan padamu agar kamu mengembalikan pada saat yang tepat.
Sejak
saat itu aku hanya ingin pergi dan menjauh darimu. Tapi rasa percayaku padamu
membuat aku tak mampu jauh darimu. Satu bulan setelah kejadian itu kau kembali
menghubungiku namun bukan dengan kata-kata manis, cercaan demi cercaan kau
lemparkan padaku, seakan kau tak pernah menyayangiku meskipun itu dulu. Aku
mencoba menerima apa yang kamu katakan tentangku tapi tidak tentang
teman-temanku.Mereka tidak bersalah dalam hubungan kita. Kini terungkaplah
fakta bahwa janji manismu saat itu hanya untuk menenangkanku. Hatiku kini lebih
hancur dari sebelumnya. Ternyata kamu sungguh tega. Kamu memintaku tidak lagi
menghubungimu. Cintaku pun sudah berubah jadi benci.
Komentar
Posting Komentar